Jumat, 22 April 2011

Oleh: Abdul Kholiq

Mamak Saya yang Luar Biasa


Mamak (Ma’e)…
Demikian saya biasa memanggil sosok bernama Cholilah, perempuan paruh baya yang lahir 56 tahun silam yang telah mengandung dan melahirkan saya. Mendengar panggilan keseharian yang saya sematkan padanya saja, Anda mungkin akan langsung menggiring persepsi Anda pada sebuah kesimpulan bahwa sosok tersebut tinggal di sebuah kampung yang jauh dari keramaian kota. Jika demikian kesimpulan yang Anda persepsikan, maka Anda telah berhasil melewati satu tahap dalam menggambarkan sosok bunda (maaf, mamak) saya. Jujur, untuk menggambarkan sosok mamak, saya merasa kesulitan jika harus menjelaskan secara detail kondisi fisiknya, jadi tolong izinkan saya untuk menceritakan rutinitas yang dijalani mamak sehari-hari saja [hasil investigasi jika saya sedang di rumah hehehe…].

Keseharian mamak saya setelah sholat subuh biasanya diawali dengan menjual sayur mayur ke pasar sekaligus belanja kebutuhan dapur (itu pun kalau sedang ada uang di tangan mamak untuk belanja, sebab jujur saja tidak setiap hari mamak saya memegang uang), kemudian dilanjutkan dengan memasak untuk keluarga, khususnya untuk anak semata wayang, yaitu saya (tapi jangan pernah sekali-sekali mengasumsikan mamak saya seperti pembantu dalam urusan memasak lho ya…soalnya kadang juga gantian saya yang masak kalau lagi di rumah). Jika urusan dapur dan sumur telah selesai, mamak saya biasanya langsung mempersiapkan peralatan kantornya seperti seragam dinas, pisau/arit, tudung,tenggok, dan selendang untuk selanjutnya berangkat ngantor (sekedar informasi, kantor mamak saya ada di tiga tempat, yaitu: tegal, sibujet, dan siaren). Sesekali, mamak juga menggendong bekal berupa lemi (kotoran sapi/kambing bercampur sampah yang sudah kering) untuk dibagikan kepada pihak-pihak yang membutuhkan di kantor.

*Beralih ke kantor dinas mamak.* Di kantor, aktivitas mamak berkisar antara memetik sayuran yang sudah bisa dipetik, membersihkan rerumputan yang mengganggu tanaman padi atau sayuran, atau memberi makan tanaman dengan bekal yang dibawa mamak dari rumah jika tanaman tersebut sedang membutuhkan tambahan gizi. Jika ada sayur yang bisa dibawa pulang, itu pertanda bahwa keesokan harinya akan ada sejumput rupiah di tangan mamak. Namun jika tidak ada hasil dari kantor yang bisa dijual ke pasar, ‘mengais’ sayur di kantor untuk kebutuhan rumah menjadi solusinya. Malam hari selepas Isya (jika sedang gayeng tentunya), televisi 14 inci menjadi satu-satunya hiburan mamak. Jika sedang memproduksi, biasanya di sambi dengan njeweri slondok. Hingga kini, rutinitas tersebut masih terus dijalani oleh mamak.

Pertanyaanya sekarang, dengan rutinitas yang demikian, bagaimana mamak mampu membiayai kuliah saya hingga selesai (alhamdulillah tepat waktu dan berhasil menggondol predikat cumlaude, tapi kalau yang kedua mungkin lebih karena faktor keberuntungan kali ya hehehehe..)?, di sinilah mengapa saya menyebut mamak saya luar biasa (luar biasa dalam kacamata saya tentunya). Dengan hanya membebankan biaya kuliah dan kebutuhan hidup saya sehari-hari dari keuntungan kantor semata yang tidak dapat ditebak, tentu merupakan hal yang berat buat mamak, meskipun juga bukan hal yang tidak mungin (tidak seperti kebanyakan teman-teman yang lain, kebetulan segala kebutuhan saya selama kuliah masih menggantungkan diri pada orang tua). Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka tidak jarang mamak sering berhutang kepada tetangga jika sedang tidak ada uang sementara biaya kuliah harus segera dibayarkan [saya utarakan hal ini karena saya menganggap bahwa berhutang bukanlah sebuah aib yang harus ditutp-tutupi. Jika kondisi memang memaksa kita untuk berhutang dan selama kita mampu bertanggungjawab, so what gitu loh… Semoga Anda semua sepakat dengan anggapan ini, soalnya saya juga sering berhutang hehehehe…]. Kerja keras mamak semakin saya rasakan setelah bapak meninggal 2 tahun silam, sehingga nyaris semua beban saya dan keluarga ditanggung sendiri oleh beliau hingga masa studi saya selesai.

Di mata saya, proses panjang yang dilakoni mamak dalam ‘menghidupi’ saya merupakan satu bukti nyata bahwa mamak saya memang luar biasa. Kalaupun ada, biarlah orang mengatakan mamak saya kampungan karena tidak bisa mengoperasikan handphone, norak karena tidak pernah up date dalam hal fashion, dan non-nasionalis karena tidak fasih berbahasa Indonesia. Yang jelas, dengan segala kekurangan yang ada, bagi saya mamak adalah Kartini yang telah menuntun saya keluar dari gelap menuju terbitnya terang.

Ma’e… meski engkau tidak tahu apa itu facebook, dengan perantaraan buah tangan Mark Zuckerberg ini anakmu berdoa mugi-mugi Gusti Ingkang Kuoso tansah paring kawilujengan lan panjang yuswo dateng mamak, amien…love you so much and you are the most precious treasure that I have right now.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar